Bilqis masih mengenakan
helmnya, terburu-buru ia menaiki tangga dengan langkah yang cepat dan
lebar. Didapatinya sebuah kamar di lantai dua rumah yang tenang itu. Setengah
berlari, ia hampiri pintu kamar tersebut dan langsung membukanya.
“Aku ga suka sama hal ini Baal.. semakin dewasa, pilihan
hidup kok rasanya semakin rumit..” keluh gadis itu sembari memasuki kamar.
Balqis yang berada di dalam kamar menoleh ke sumber suara,
ia tersenyum dan berkata, “wa’alaikumussalam...”.
Sepasang bola mata Bilqis membesar dan refleks telapak
tangannya menutupi bibirnya. Ia baru tersadar sudah lupa mengucapkan salam
terlebih dahulu. Kemudian senyumnya mengembang, menampakkan sederet giginya
yang rapi. Sambil cengengesan, ia hampiri Balqis dan berkata, “Assalamu’alaikum, bride to beee...”.
“Uh kamu ini.. Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh Bilqiiss. Apa cerita Bil? Tiba-tiba masuk, ngomong
seperti itu, sampai belum lepas helm segala?” Balqis memberondong penuh tanya.
“Eh iya aku lupaa hahaha”, jawab Bilqis sambil melepas
helmya. Lalu ia mendekati Balqis, duduk disebelah saudari kembarnya yang
terlahir 10 menit lebih cepat itu.
“Tadi aku ngobrol sama temen-temen kuliah dulu, kami bahas
soal masa depan. Kamu tahu ngga Bal, jalan hidup mereka tuh ya kok lempeng
banget. Jelas udah mau kemana, mau ngapain, alurnya udah sesuai. Lah akuuu.... yang
aku impikan terlalu berbeda dari apa yang kulakukan sekarang.. Kamu juga enak
Bal, semua rencanamu terlaksana. Bulan depan kamu menikah, dua bulan lagi kamu
mulai internship, sama pula lokasi intern kalian. Cita-citamu tinggal
selangkah lagi, seneng banget. Coba
aja aku, cita-citaku udah semakin jauh darikuu..” sambung Bilqis dengan wajah
muram.
Balqis menatap wajah saudarinya lekat-lekat. Ia menemukan
cahaya yang meredup pada mata kembarannya. Biasanya, mata itu selalu berkilat
jenaka. Selalu ada saja ide kreatif yang ia miliki. Kepalanya agak menunduk,
melihat ke bawah seakan-akan sedang meratap. Wajahnya yang teduh pun masih
diliputi debu jalanan seusai berkendara.
Balqis membatin, “Bilqis
tidak pernah seperti ini, hal pertama yang ia lakukan begitu sampai rumah
adalah membersihkan wajah. Bahkan kali ini, melepas helm saja lupa. Ah, Bilqis
sedang galau maksimal rupanya..”.
“Ayo kita jalan-jalan”, sahut Balqis sembari menggamit
tangan Bilqis. Bilqis menurut saja, ia mengikuti langkah kaki saudari yang selama
ini selalu memahami dirinya. Sampailah mereka di rumah sakit yang dapat ditempuh
hanya dengan berjalan kaki 10 menit dari rumah mereka, rumah sakit tempat
Bilqis bekerja.
“Kenapa kesini Bal? Aku jenuh dengan penantian-penantianku di
tempat ini. Belum jadi juga tuh
dibuka departemen yang sesuai jurusanku. Aku masih aja mengerjakan hal-hal yang jauh dari passionku” protes Bilqis yang mengerutkan dahinya.
“Jawab yang jujur ya Bil, apa sebenarnya arti sukses
bagimu?” Balqis balik bertanya dengan nada yang lembut.
Kerutan di dahi Bilqis bertambah, lalu ia menjawab, “Hmm..
bermanfaat bagi banyak orang tentunya. Melakukan hal-hal yang berarti, hal-hal
yang sesuai passion kita. Well, kalau bisa jadi sosok yang
mendunia. Keberadaannya signifikan di bumi ini”.
“Tidak ada yang salah dengan jawabanmu. Sekarang coba kamu
lihat mbak yang sedang membersihkan kaca itu, apakah ia jauh berbeda dari
jawaban sukses versimu?” Balqis kembali bertanya. Pandangan mereka mengarah
pada seorang perempuan muda berseragam cleaning
service rumah sakit.
“Perbandinganmu nggak
apple to apple, Bal. Males ih
bahasnya, aku balik aja deh” bantah Bilqis kemudian berlalu meninggalkan
Balqis.
“Bil, aku percaya kamu bisa mengolah pemikiranmu dengan
lebih dipenuhi syukur. Jangan pernah meremehkan apapun” sayup-sayup suara
Balqis menyertai kepergian Bilqis.
Hingga keesokan harinya, Bilqis masih berusaha menghindari
Balqis. Ia merasa kali ini Balqis tidak berhasil memahaminya, untuk pertama kali
ia memutuskan ingin puasa bicara dulu pada Balqis. Pagi itu, ia berangkat lebih
cepat ke rumah sakit, masih dalam rangka mengurangi kontak dengan Balqis.
Rumah sakit masih lengang pada pagi itu. Ia sudah duduk di
kursi merahnya, menghidupkan komputer, menyiapkan perkakas administrasi
andalannya; pulpen, stempel, dan hekter. Lalu fikirannya kembali melayang pada dua
bulan lalu, saat pengumuman kelulusan seleksi pegawai rumah sakit. Namanya tercantum
pada daftar peserta yang lulus. Diantara 6800 orang pendaftar, hanya ada 70
nama yang diterima.
Bersyukur seharusnya menjadi hal pertama yang ia rasakan. Namun
saat itu, ia merasa getir. Ia akan berada di posisi yang tidak pernah muncul dalam cita-citanya. Jauh
di lubuk hatinya, ia melakukan ini hanya demi keluarga yang mendukung penuh
langkahnya untuk mencoba melamar pekerjaan tersebut, untuk menjadi lebih
realistis. Kata mereka, semua diawali dari dasar, akan ada waktunya untuk
mewujudkan cita-cita, akan ada jalan baru yang terbuka. Ia tidak menyangka doa
keluarganya terwujud saat itu. Pada posisi itu.
Lamunannya buyar saat kakinya tersenggol sapu. Ternyata mbak
berseragam cleaning service rumah
sakit yang ditunjuk oleh Balqis kemarin sedang menyapu bagian bawah kursinya. Mbak
tersebut meminta maaf karena tidak sengaja sudah menyenggol kakinya. Bilqis lantas
bertanya, “Mbak, apa arti sukses bagi mbak?”.
Ia terdiam cukup lama. Lebih lama dari Bilqis saat kemarin
diberi pertanyaan yang sama. Lalu ia menjawab dengan suara yang bersemangat, “Sukses
itu adalah saat saya masih dapat terus bersyukur dengan apapun yang Allah
berikan pada saya, mbak. Suka atau tidak, saya jalani saja. Saya selalu percaya
pada skenario Allah, saya yakin suatu saat nanti cita-cita saya akan terwujud dengan
jalan yang tidak pernah saya bayangkan. Atau malah mungkin hal yang terjadi malah
lebih baik lagi dari yang saya idam-idamkan hehehe”.
Tiba giliran Bilqis yang terdiam cukup lama mendengar
jawaban tersebut. Ia tersipu malu dengan keyakinan yang dimilikinya, ternyata
belum sekuat mbak tersebut. “Mungkin ini
yang dimaksud Balqis kemarin, bersyukur adalah sukses yang sebenarnya. Bercita-cita
besar sungguh baik, namun harus diiringi kesadaran bahwa prosesnya pasti tidak
akan kalah besar. Pilihan-pilihan yang menyambutku akan semakin membingungkan. Aku
akan diasah melalui berbagai hal yang menguji kapasitas diriku, bersabar pada
egoku”, Bilqis membatin.
“Saya juga tidak akan remeh pada posisi apapun mbak. Terlebih
yang saya lakukan sekarang. Setiap orang dapat bermanfaat selama ia terus
bergerak, tidak cukup hanya berkecimuk dalam fikirannya. By the way saya bekerja sambilan kuliah mbak, saya tidak bersedia
terjebak dalam hari-hari yang tidak lebih baik dari hari sebelumnya” sambung
mbak tadi tanpa ditanya. Tatapannya begitu terang, menyiratkan masa depan yang
semakin benderang.
Bilqis tersenyum manis, memberikan ucapan terima kasihnya
dengan tulus. Ia terinspirasi, semangatnya melambung lagi. Ia akan meningkatkan
kesabarannya, tetap menanti departemen idamannya dibuka. Sambil mengerjakan
tugasnya sekarang, ia akan mempersiapkan diri dengan terus mengulang
pelajarannya saat kuliah dulu. Mungkin juga sembari melakukan inovasi lain,
seperti riset kecil-kecilan. Hingga saatnya tiba, ia akan siap sepenuhnya. Ia kagum
pada keteguhan mbak ini.
Tidak menyangka moodnya
berubah secepat ini, terlebih lagi pemicunya bukan orang yang pernah ia
ekspektasikan sama sekali. Ia bertekad tidak akan pernah remeh lagi pada posisi
yang dirinya geluti, pada posisi siapapun. Menyadari sepenuhnya justru sikapnya
yang sekarang akan memengaruhi karakternya di masa mendatang. Ia teringat pada
Balqis dan jadi merasa bersalah sudah mendiamkannya. “Sepulang kerja nanti, akan kupeluk saudara kembarku satu itu!” batinnya
ceria.
#beraniberkaryaberanisukses #menuliskreatif #1cerpen1hari #fajrmanagement
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengikuti lomba Fajr Management
0 comments:
Post a Comment