Thursday, April 30, 2015

Mati, Kelak Kemudian Hari

Jauh memang, lama sudah, terkatung-katung mencari seutas harap, terseok kumpulkan pekat, o tanda bahaya

Pencarian ini belum berakhir walau sungguh sudah nyata tujuan disana. Ah mungkin bukan, tapi jalannya yang penuh liku, niatnya yang terkabut semu

Lurus, maka itu harap untuk bertahan selalu. Pergumulan demi kerapnya hati yang bicara tertutup dosa. Doa yang selalu menggoda ah semoga baik adanya

Hidup dan mati. Sukanya membayangi, memenuhi imaji. Waktunya tak diketahui, sulutnya berkobar kadang juga bertepi. Hanya ku tahu betapa berat saat arungi semua tanpaMu Ilahi

Wednesday, April 29, 2015

Getir

Hati tempatnya tanya. Kenapa bisa rasa, kenapa bisa ada. Oh mengapa sekarangkah? Sudi kiranya hilang saja dari ingat. Boleh andainya pergi saja dari harap. Maka hati hanya milikNya seutuhnya. Tanpa tengok sisi lain dari dunia.

Di Ujung Dermaga, 24 Januari 2015

Pagi jadi satu kunci untuk beranjak dari gelap yang menyongsong jauhnya mata memandang pada segenap kicau yang membuai kalap

Pergi berarti bergerak yang memindahkan raga bersama jiwa menuju satu cita yang membuncah walau api-api sudah bersua asap

Pergi menjadi buai dalam angan membuka tabir saat hati terjumpa senyap

Namun bilakah pergi berujung kembali maka hamba berlepas tiada?

Maka hamba percaya pada satu titik kita berjumpa pada kepergian yang didalamnya senantiasa semburat pengembalian

*Kata demi kata ini mengingatkan pada pagi itu di Pulau Kelapa. Menunggu waktunya tiba, menghabiskan waktu-waktu terakhir menatap lautNya, paduan berbagai biru dengan jernih tiada tara, juga kombinasi arakan awan yang bergumul berpindah begitu nyata. Pagi yang sibuk, kapal-kapal sudah bersiap pada pagi itu, membagi nada pada tiap partikel udara. Tunggu ya, akan ada tulisan khusus Pulau Kelapa ;)

Friday, April 24, 2015

Secercah, Memercik, lalu Membara

Janji menuliskan ulang di blog seluruh catatan perjalanan selama program memang belum selesai, tapi....saya benar-benar terkesima untuk menceritakan hal ini :"D

Sejak kepulangan dari perjalanan 6 bulan jauh dari pandangan itu, jujur saya merasa hampa. Mau melakukan apa-apa rasanya malaasssss sekali. Ndak excited, hampir semua hal terasa datar. Semacam terserang pertanda mood disorder hiks. Walau tetap ada hal-hal bermanfaat (hihihi) yang dilakukan, tetap saja nyawanya tidak semerah dulu..... Mungkin sampai sekitar 2 minggu seperti itu barulah kembali memulai kebiasaan lama, mengambil pulpen dan kertas lalu menuliskan rencana-rencana kembali, tidak hanya sekedar let it flow ;)

Jika terlaksana, rencana-rencana itu akan saya coret, dan......ternyata butuh waktu lama untuk mencoret semua daftarnya...padahal ada hal-hal yang sangat simpel disana, bahkan sampai sekarang, sampai sudah 2 minggu lebih setelah menulisnya, masih ada saja yang huruf-hurufnya tercetak sempurna. Lalai? Mungkin, dan sesungguhnya sangat merugilah orang yang lalai, yang tidak menggunakan seluruh waktunya dengan sebaik-baiknya, dan saya mengalaminya.

Tapi akhirnya percikan semangat itu menghampiri lagi, mungkin sudah sekitar 3 minggu lebih setelah saya pulang. Kembali merefleksi yang sudah terjadi, membuat langkah-langkah yang lebih besar, melakukan hal-hal yang tertunda. Walau....percikan semangat itu tetap datang dan pergi, tetap sejenak muncul sekejap hilang lagi. Dan...tetap masih menyisakan tulisan yang belum tercoret, walau yang tercoret kini sudah lebih banyak :)

Barusan saja, saya menyimak percakapan dua orang senior alumni pertukaran yang pernah saya ikuti, mereka membicarakan persiapan keberangkatan S2 ke Eropa, dengan beasiswa tentunya. Ya! Mereka kembali mendapat kesempatan untuk berkelana lebih jauh lagi, belajar lebih banyak lagi, merasakan cinta Allah lebih kuat lagi, dan.....oh ya Rabb, hati ini tergugah. Tanpa sadar, mereka menginspirasi lagi, mereka menyulut bara semangat yang masih sepercik-sepercik di hati ini, mereka membuat saya cepat-cepat menatap artikel "study in germany" yang tertempel di dinding kamar saya. 

Sudah lebih dari setahun artikel itu tertempel, namun masih ada yang kurang, selain usaha yang masih huhu loyo, saya belum mencantumkan tahun kapan mimpi itu akan terwujud. Hitung-hitung....insya Allah 2017! Ya, segera saya cantumkan tahun 2017 di atas artikel tersebut, ah mengingatkan kembali pada kertas bertuliskan "PPAN 2014" yang pernah saya tempel di cermin. Tulisan itu kini sudah tidak ada lagi, Alhamdulillah mimpi itu sudah menjadi nyata :') dan Insya Allah, dengan usaha yang keras serta bantuan dan izinNya mimpi yang selanjutnya ini juga akan menjadi nyata, Allahumma amiinnn ya rabbal alamiiinnn....






Kamu. Ya, kamu! Kamu juga pasti bisa! Mulailah sekarang, mulailah detik ini juga, mari kejar mimpi kita semuanya bersama-sama! :)

Tuesday, April 14, 2015

Alasan Demi Kemajuan (2)

Kisah ini juga hasil membuka data lama, seingat saya ini ditulis beberapa tahun lalu untuk suatu perlombaan kisah super singkat bertemakan "Berani Beda", hasil perlombaannya.....saya tidak tahu, terlewatkan sepertinya, juga lupa siapa penyelenggaranya huhu :') bahkan saya tidak yakin, apakah naskah ini benar sudah selesai dan sudah dikirim hihi maka biarlah kisah ini menyeruak disini saja..........

Gadis berusia 20 tahun itu bernama Febe. Tinggi, langsing, berambut ikal panjang, berkulit kuning langsat, bermata bundar, cantik. Namun, mahasiswa di salah satu universitas swasta terkemuka di kota Medan ini tidak memiliki teman dekat, lebih tepatnya menjaga jarak untuk memiliki teman dekat. Orang-orang kerap menganggapnya sebagai individu yang anti sosial.
Sehari-hari, selain mengikuti perkuliahan, Febe juga bekerja paruh waktu di salah satu mini market franchise yang sedang menjamur di kotanya. Tidak banyak yang mengetahui hal ini, hanya Febe dan ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Sejak kecil, Febe adalah anak yang periang, rajin, dan senang membantu. Sifat-sifat  yang ia miliki tersebut membuatnya memiliki banyak teman. Namun masa-masa peralihan memberi banyak pengaruh dalam hidupnya. Masa-masa remaja tersebut menjadi saat-saat tersulit yang pernah ia lalui.
Saat itu ayahnya meninggal tanpa mewariskan apapun untuk keluarga kecil mereka, Febe dan ibu. Tidak lama setelah kepergian ayahnya, rumah sederhana mereka terbakar, menghanguskan semua kenangan-kenangan indah semasa kecilnya. Febe sakit, trauma dengan bumbu-bumbu hidup yang ia rasa begitu pedih. Ia mulai menarik diri dan bermain dalam dunianya sendiri.
Ketika beranjak semakin dewasa, Febe sukses menutupi dirinya dari lingkaran persahabatan yang dulu begitu ia agungkan. Sepulang dari kampus ia lebih memilih langsung mengurung diri di rumah daripada mengikuti kegiatan apapun. Hingga ibunya berkata bahwa mereka yang hidupnya sudah begitu sederhana membutuhkan penghasilan tambahan. Febe memaksa diri mencari pekerjaan sampingan untuk menyelamatkan ekonomi keluarga.
Tanpa ia sadari, statusnya sebagai pekerja di mini market franchise mulai menjungkir balikkan lagi dunianya yang sudah lama terbalik. Semua berawal dari salah seorang mahasiswa yang sekelas dengannya membeli minuman ringan di tempat ia bekerja. Febe tidak mengetahui bahwa perempuan itu teman sekelasnya, ia tidak peduli. Namun sebaliknya, dirinya yang cantik sebenarnya cukup menjadi pembicaraan publik, sehingga lelaki itu mudah mengenalinya.
Perempuan itu mengajak Febe berbicara, memastikan bahwa mereka adalah teman sekelas. Febe merasa malu sekali pada saat itu, ia tidak pernah ingin diketahui bekerja sampingan sebagai mbak-mbak di mini market, tidak pernah. Namun perempuan itu adalah teman yang baik, ia tidak menghiraukan status Febe.
Malah, perempuan itu jadi sering mampir ke mini market, mengajaknya bicara, bercerita, hingga akhirnya mereka menjadi teman yang dekat. Perempuan itu membesarkan hatinya bahwa keadaannya yang berbeda, yakni anak yatim dan susah secara ekonomi, bukanlah penghalang untuk hidup seperti manusia normal lainnya.


Waktu pun terus berjalan, Febe mulai menerima kenyataan-kenyataan hidup memang harus dihadapi, tidak bisa terus menerus sembunyi dan menarik diri. Tidak perlu takut atau malu dengan perbedaan status sosial yang dimiliki. Toh, menjadi berbeda berarti turut berkontribusi memberi warna pada kanvas kehidupan yang itu-itu saja.

Alasan Demi Kemajuan

Ah...kembali tersambung akhirnya. Banyak sekali yang ingin saya ceritakan kembali, banyaaaaak sekali. Sanking banyaknya, saya malah mengalihkan apa yang harus dikerjakan, malah menyibukkan pencarian tampilan, oh oh sebelum kembali pada perbincangan, izinkanlah postingan ini diisi hasil dari sejenak membuka data lama dan menemukan kenangan:

Aku mendengar riak tawa laki-laki dan jerit ngeri perempuan dari ruangan ini. Dari sudut paling terang dari bagian lain yang paling gelap. Aku mendengarnya dibawah cahaya, mendengar suara-suara itu beserta suara mesin yang kuduga dibuat pada tahun 2000an. Aku tahu mereka ada diluar sana, di belenggu kelambu malam yang dingin.

Aku sempat beranjak sebentar dari posisi ini untuk berbicara dengan hati orang-orang yang sepi. Dengan gundah mereka terhadap begundal-begundal di hidup. Oh dengan yang teristimewa yang tengah terlelap juga tentu saja.

Ayahku pulang minta dibukakan pintu, ia datang dari perjuangan. Setelah itu aku kembali ke titik ini. Menikmati terang dengan pendingin ruangan diatas kepala. Tiba-tiba aku teringat biola pusaka. Sudah 2 hari kami tiada bersua.

Lalu menyusul suara pintu besi yang terguncang-guncang berlomba dengan suara orang-orang yang semakin ramai dengan batukan pispot kendaraannya. Sejujurnya aku ingin rebah sekarang, menutup mata, melelapkan cinta. Namun telaga masih berantakan diluar sana.

Titik ini, 5 Februari 2013