Friday, March 30, 2012

Pendidikan Anak Prasekolah. Seberapa penting?

Kelompok 1 :




   Pada masa sekarang ini, sebagian besar orangtua telah merencanakan pendidikan untuk anaknya sedini mungkin. Menyekolahkan anak mulai TK mungkin sudah dianggap kurang memperhatikan anak. Beberapa anak bahkan telah mengenal nursery (pra play group), dan sebagian besar lainnya sekolah mulai play group. Tetapi seringkali muncul pertanyaan dikalangan masyarakat, apa manfaat pendidikan pra sekolah tersebut?

   Pendidikan pra sekolah seperti Play Group/ Taman Kanak-kanak (PG/TK)  adalah untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.

   Anak-anak pada sekitar umur 3 atau 4 tahun merupakan massa permulan terbukanya jiwa anak-anak untuk menerima pengaruh dari luar melalui panca inderanya secara luar biasa. Anak-anak sangat tertarik kepada gambar-gambar teristimewa yang berwarna, lagu-lagu dan suara pada umumnya, cerita-cerita tentang apapun juga. Massa ini dinamakan “gevoelige periode” oleh Montessori. Di sinilah letak pentingnya pendidikan pra sekolah. Di lingkungan pra sekolah, otak anak distimulasi untuk siap belajar di jenjang selanjutnya, kemandirian mereka dilatih dalam format bermain yang terarah.

    Manfaat pendidikan pra sekolah adalah untuk mendidik anak untuk belajar berbagai hal sesuai dengan usia dan kemampuan perkembangan otaknya. Mereka juga dilatih untuk mempersiapkan diri memasuki masa sekolah. Misalnya, anak diperkenalkan dengan alat tulis dan cara menggunakannya. Dengan demikian, ketika sudah duduk di sekolah dasar, ia sudah mengerti cara memegang alat tulis dan menulis dasar. 

   Biasanya anak yang mendapatkan pendidikan prasekolah lebih siap melanjutkan proses belajarnya.
Pendidikan prasekolah selain mendidik anak sambil bermain, umumnya juga berfokus pada pengembangan kemandirian, kedisiplinan, dan yang paling penting adalah kehidupan sosial pada anak. Manfaatnya adalah mengajarkan bagaimana hidup bermasyarakat sambil bermain bersama teman-teman lainnya.

   Meskipun orangtua telah merencanakan pendidikan prasekolah untuk anaknya, sebaiknya orang tua ikut juga mendidik anaknya. Pada usia yang masih belia anak perlu banyak perhatian dan kasih sayang. Orang tua juga contoh yang paling nyata bagi anak. Oleh karena itu keikutsertaan orang tua dalam mendidik anak justru faktor yang paling utama dalam menentukan perkembangan anak.

   Menurut Snowman (1993 dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang biasanya adalah anak  TK. Ciri-ciri yang dikemukakan meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak.
1)      Ciri Fisik Anak Prasekolah Atau TK.
Penampilan maupun gerak gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya.
a. Anak prasekolah umumnya aktif. Mereka telah memiliki penguasaan atau kontrol terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukan sendiri.
b. Setelah anak melakukan berbagai kegiatan, anak membutuhkan istirahat yang cukup, seringkali anak tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat cukup. Jadwal aktivitas yang tenang diperlukan anak.
c. Otot-otot besar pada anak prasekolah lebih berkembang dari kontrol terhadap jari dan tangan. Oleh karena itu biasanya anak belum terampil, belum bisa melakukan kegiatan yang rumit seperti misalnya, mengikat tali sepatu.
d. Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokuskan pandangannya pada obyek-obyek yang kecil ukurannya, itulah sebabnya koordinasi tangan masih kurang sempurna.
e. Walaupun tubuh anak lentur, tetapi tengkorak kepala yang melindungi otak masih lunak (soft). Hendaknya berhati-hati bila anak berkelahi dengan teman-temannya, sebaiknya dilerai dan dijelaskan kepada anak-anak mengenai penyelesaian masalahnya.
f. Walaupun anak lelaki lebih besar, anak perempuan lebih terampil dalam tugas yang bersifat praktis, khususnya dalam tugas motorik halus, tetapi sebaiknya jangan mengkritik anak lelaki apabila ia tidak terampil, jauhkan dari sikap membandingkan anak lelaki-perempuan, juga dalam kompetisi ketrampilan seperti apa yang disebut diatas.
2) Ciri Sosial Anak Prasekolah atau TK  
a. Umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti, mereka umumnya dapat cepat menyesuaikan diri secara sosial, mereka mau bermain dengan teman. Sahabat yang dipilih biasanya yang sama jenis kelaminnya, tetapi kemudian berkembang sahabat dari jenis kelamin yang berbeda.
b. Kelompok bermain cenderung kecil dan tidak terorganisasi secara baik, oleh karena kelompok tersebut cepat berganti-ganti.
c. Anak lebih mudah seringkali bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar. Parten (1932) dalam social participation among praschool children melalui pengamatannya terhadap anak yang bermain bebas di sekolah, dapat membedakan beberapa tingkah laku sosial:
a) Tingkah laku unoccupied: anak tidak bermain dengan sesungguhnya. Ia mungkin berdiri di sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melakukan kegiatan apapun.
b) Bermain soliter: anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan, berbeda dari apa yang dimainkan oleh teman yang berada di dekatnya, mereka berusaha untuk tidak saling berbicara.
c) Tingkah laku onlooker: anak menghasilkan tingkah laku dengan mengamati. Kadang memberi komentar tentang apa yang dimainkan anak lain, tetapi tidak berusaha untuk bermain bersama.
d) Bermain pararel: anak-anak bermain dengan saling berdekatan, tetapi tidak sepenuhnya bermain bersama dengan anak lain, mereka menggunakan alat mainan yang sama, berdekatan tetapi dengan cara tidak saling bergantung.
e) Bermain asosiatif: anak bermain dengan anak lain tanpa organisasi. Tidak ada peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri-sendiri.
f) Bermain kooperatif: anak bermain dalam kelompok di mana ada organisasi. Ada pemimpinannya, masing-masing anak melakukan kegiatan bermain dalam kegiatan, misalnya main toko-tokoan, atau perang-perangan.
3) Ciri Emosional Pada Anak Prasekolah atau TK.

a. Anak TK cenderung mengekspreseikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut.

b. Iri hati pada anak prasekolah sering terjadi, mereka seringkali memperebutkan perhatian guru.

c. takut disebabkan pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman kurang menyenangkan yang ada mulanya reaksi adalah panik kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, menangis, dan bersembunyi.

d. gembira diekspresikan dengan tersenyum dan tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat, dan memeluk benda atau orang yang membuatnya bahagia.

e. cemburu sering disebabkan karena mengira bahwa minat dan perhatian teralih darinya. Anak yang lebih muda dapat menunjukkan secara terbuka atau menunjukkannya dengan kembali berperilaku seperti anak kecil.

f. sedih terjadi pada anak-anak karena mereka kehilangan sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting bagi dirinya.

g. ingin tahu terjadi pada anak-anak ketika mereka menemukan sesuatu yang baru pertama kali dilihat, baik itu berada pada tubuhnya sendiri atau pada tubuh orang lain.

h. kasih sayang diberikan anak-anak kepada orang lain, binatang, atau benda yang menyenangkan. Ketika masih kecil mereka mengungkapkannya dengan cara memeluk, menepuk, dan mencium objek tersebut, tetapi ketika sudah besar mereka akan mengungkapkannya.  

4) Ciri Kognitif Anak Prasekolah atau TK 

a. Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa. Sebagian dari mereka senang berbicara, khususnya dalam kelompoknya, sebaiknya anak diberi kesempatan untuk berbicara, sebagian dari mereka dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.

b. Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Ainsworth dan Wittig (1972) serta Shite dan Wittig (1973) menjelaskan cara mengembangkan agar anak dapat berkembang menjadi kompeten dengan cara sebagai berikut:

        a) Lakukan interaksi sesering mungkin dan bervariasi dengan anak.

        b) Tunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan anak.

      c) Berikan kesempatan kepada anak untuk meneliti dan mendapatkan kesempatan dalam banyak hal.

       d) Berikan kesempatan dan dorongan maka untuk melakukan berbagai kegiatan secara mandiri.

        e) Doronglah anak agar mau mencoba mendapatkan ketrampilan dalam berbagai tingkah laku.

        f) Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan oleh lingkungannya.

        g) Kagumilah apa yang dilakukan anak.

      h) Sebaiknya apabila berkomunikasi dengan anak, lakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati. 



Sumber :

1. Harlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Ed 5. Jakarta : Erlangga
2. Uraeka.com 
3. Santrock, J.W. 2002. Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup. Ed 5. Jakarta : Erlangga
4. Papalia, D.E. 2003. Child Development : A Topical Approach . New York : McGraw-Hill

Refleksi Hasil Bentukan Belajar. Contoh Kasus Cognition, Language, and Inteligence


   Untuk contoh kasus refleksi hasil bentukan belajar dari pembahasan mengenai cognition, language, and inteligence, saya mengambil dari kejadian yang terjadi hampir setahun yang lalu. Yaitu saat saya masih kelas 3 SMA dan bersiap-siap untuk menuju universitas. Saat itu kebetulan saya mendapat kesempatan untuk mengirim data melalui jalur snmptn undangan.
 
   Dalam pembahasan pada sub topik Generating and Evaluating Alternative Solutions, ada 3 cara dalam penyelesaian masalah. Yaitu dengan  trial and error, algorithms, dan heuristics.

   Saat itu harapan saya adalah menjadi mahasiswi di Fakultas Psikologi UI. Sebenarnya yang lebih dalam lagi adalah, saya sangat ingin menjadi mahasiswi UI, sekalipun bukan Fakultas impian saya yang akan saya jalani.

   Dalam memasukkan pilihan universitas tujuan pada format snmptn undangan, saya dapat mengisi 2 universitas dengan masing-masing 3 pilihan program studi.

   Saya menggunakan metode heuristics dalam memasukkan pilihan saya. Karena memang impian, maka saya memasukkan Fakultas Psikologi sebagai pilihan pertama program studi di pilihan universitas saya yang pertama yaitu Universitas Indonesia.

   Selain karena memang sebuah impian tersebut, berdasarkan pengalaman senior tahun-tahun sebelumnya dan passing grade yang ada, saya memasukkan pilihan kedua dan ketiga program studi di Universitas Indonesia dengan pilihan yang passing grade-nya lebih rendah dari Fakultas Psikologi. Harapan saya,  walaupun tidak lulus di Fakultas Psikologi, saya tetap dapat menjadi mahasiswi di Universitas Indonesia.

   Lalu kemudian, pada pilihan universitas yang kedua, saya memasukkan pilihan Universitas Sumatera Utara dengan Program Studi Fakultas Psikologi. Awalnya saya tidak terlalu minat untuk memasukkan pilihan lain karena bukan impian saya, namun orang tua saya menyarankan memasukkan pilihan program sudi yang kedua sebagai cadangan. Jadi, saya buat pilihan pogram studi yang kedua di pilihan universitas yang kedua tersebut dengan pilihan yang passing grade-nya lebih rendah dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

   Lalu, hasil dari metode heuristics tersebut akhirnya keluar. Keberhasilan dalam pemakaian metode heuristics memang tidak selalu begitu akurat. Begitu juga dalam kasus saya. Saya tidak lulus di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia maupun program studi lainnya di Universitas Indonesia. Namun, saya lulus di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

   Awalnya saya merasa sangat berduka. Namun sekarang, setelah menjalani hari-hari menjadi mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Alhamdulillah, saya tidak menyesal sama sekali walau kadang teringat juga impian yang dulu. Mungkin menurut Allah ini yang terbaik untuk saya, dan saya sangat setuju. Jangan-jangan, metode heurstics dapat memberi hasil yang memang kita butuhkan dan bukan kita inginkan? :)

Friday, March 23, 2012

Refleksi Hasil Bentukan Belajar. Contoh Kasus Memory


Memory

   Contoh kasus sebagai refleksi hasil bentukan belajar memory, saya ambil dari kejadian sederhana yang sudah cukup lama, yaitu saat pertama kali belajar mengendarai sepeda. Tepatnya saat saya SD dulu.

   Ingatan peristiwa mengenai belajar bersepeda tersebut masih jelas dibenak saya. Suasana sore hari di masa itu, angin yang menyapa dengan lembut, orang-orang yang bergantian mengajari saya, dorongan untuk mencoba seimbang, sakit yang terasa setiap kali jatuh, rasa malu ketika terpleset di depan teman orang tua saya, pohon yang menjadi korban tabrakan, rasa lelah, hari-hari berat untuk terus berlatih, hingga rasa bahagia ketika tiba-tiba sudah bisa mengayuh dan menjalankan sepeda dengan seimbang.

   Hal ini dapat saya ingat dengan baik karena pengolahan informasi tersebut lulus melewati sensory register, kemudian short term memory, hingga long term memory.

   Sensory register merupakan tahap pertama ketika saya mengalami kejadian secara langsung. Indra saya beperan besar dalam penerimaan informasi. Kemudian dengan atensi yang saya berikan, informasi berhasil meluncur ke short term memory dan berlanjut ke versi lebih tahan lamanya karena proses belajar bersepeda yang terus berulang, yaitu long term memory.

   Atensi besar terhadap belajar naik sepeda menjadi kekuatan yang membuat proses administrasi ingatan menjadi lancar hingga ingatan tersebut dapat masuk maupun dipanggil kembali dengan mudah.

   Selain atensi besar yang mempengaruhi suksesnya ingatan tersebut masuk le dalam long term memory, hal tersebut juga merupakan pengetahun-info yang bersifat episodic (terkait kejadian) yang membuat lebih mudah untuk masuk ke long term memory maupun untuk kembali diingat.

Saturday, March 17, 2012

Teori Intelegensi Alfred Binet


Kelompok 1


Alfred Binet (1875-1911) memulai suatu usaha pengukuran intelligensi dengan mengikuti metoda Paul Broca yang saat itu sangat popular di kalangan ilmuwan. Pengukuran intelligensi termaksud dilakukan dengan cara mengukur lingkaran tempurung kepala anak-anak (kraniometri).
Ketika di tahun 1904 Binet kembali menekuni usaha pengukuran inteligensi, ia meninggalkan sama sekali pendekatan kraniometri dan berpaling ke metoda yang lebih psikologis. Binet  mulai membuat alat baru yang dirancang untuk mengukur ketajaman bayangan  ketahanan dan kualitas perhatian, ingatan, kualitas penilaian moral dan estetika, dan kecakapan menemukan kesalahan logika serta memahami kalimat-kalimat. Sejarah menggariskan bahwa Binet menjadi seorang pemancang tonggak awal perkembangan tes-tes inteligensi modern di seluruh dunia. Pada oktober 1904 Binet diberi tugas oleh menteri pengajaran Prancis untuk meneliti masalah anak-anak lemah mental di sekolah-sekolah Prancis. Untuk itu diperlukan suatu alat ukur yangmampu membedakan mana anak yang lemah mental dan mana yang tidak. Seorang dokter bernama Theodore Simon bersama binet membuat skala inteligensi yang dikenal sebagai Skala Binet-Simon. Skala itu dikenal juga sebagai Skala 1905, terdiri dari 30 soal yang disusun berdasarkan tingkat kesukaran yang semakin meningkat. Dalam skala 1905 itu tidak terdapat petunjuk yang pasti mengenai bagaimana cara menghitung skor yang diperoleh seorang anak.
Pada skala kedua yang dikenal sakala 1908, jumlah tesnya diperbanyak dan beberapa tes pada skala pertama yang terbukti tidak begitu baik dibuang. Kemdian skor anak dalam tes dinyatakan dalam bentuk usia mental yang sama dengan usia kronologis anak normal yang berhasil mengerjakan tes pada level tersebut. Pengertian usia mental adalah sama dengan level mental yang merupakan istilah yang lebih disukai oleh Binet.
Skala Binet-Simon yang terakhir terbit pada 1911 (tahun kematian Binet). Beberapa tes baru ditambahkan pada level-level usia tertentu dan dilakukan pula perluasan soal sampai mencakup pada level usia mental dewasa. Revisi Amerika yang paling terkenal dilakukan oleh Lewis Madison Terman di Stanford University tahun 1916. Sejak itu, skala Sanford-Binet menjadi skala standar dalam psikologi klinis, psikiatri, dan konseling pendidikan.
Pada tahun 1960, mengalami revisi penting. Yaitu (a) konsep IQ deviasi dari Wechsler mulai digunakan pada skala ini dengan cakupan angka mulai dari 30 sampai dengan 170.(b) Skala Stanford-Binet yang semula terdiri atas dua bentuk parallel yaitu Form L dan Form M dijadikan satu Form L-M. dan (c) Tabel konversi IQ diperluas sehingga mencakup pula usia 17 dan 18. Terakhir, versi terbaru skala Stanford-Binet terbit tahun 1986 memuat 4 kelompok penalaran dan berisi berbagai mecam tes baron.

Stanford-Binet Intelligence Scale
Revisi terhadap Skala Stanford-Binet yang diterbitkan pada tahun 1972, yaitu norma penilaiannya yang diperbaharui. Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbgai level usia mulai dari Usia II sampai dengan Usia Dewasa-Superior. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia terisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Bagi setiap level usia terdapat pula tes pengganti yang setara, sehingga apabila suatu tes pada level usia tertentu tidak dapat digunakan karena sesuatu hal maka tes penggantipun dapat dimanfaatkan.
Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemberi tes. Oleh karena itu pemberi tes haruslah orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup di bidang psikologi, sangat terlatih dalam penyajian tesnya, dan mengenal betul isi berbagai tes dalam skala tersebut.Skala ini tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa, karena level tersebut merupakan level intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batas-batas usia mental yang mungkin dicapai oleh anak-anak.
Versi terbaru skala Stanford-Binet diterbitkan pada tahun 1986. Dalam revisi terakhir ini konsep inteligensi dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes. Yaitu penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, memori jangka pendek.

Revisi skala Binet
Dilakukan pertama kali di tahun 1916. Perubahan benar-benar dilakukan sehingga menampilkan suatu tes baru. Untuk pertama kalinya digunakan istilah IQ. Revisi kedua di tahun 1937. Skala diperluas dan distandardisasi ulang berdasar sampel masyarakat AS. Revisi ketiga dilakukan di tahun 1960, menyediakan satu bentuk tunggal yang memuat soal-soal terbaik dari bentuk 1937. Di tahun 1972, tes ini di-restandardisasi.
Penyelenggaraan tes dan Penentuan Skor menggunakan buku-buku kecil berisi kartu-kartu tercetak untuk presentasi, flip-over soal tes, objek tes misal balok, manik, papan bentuk, sebuah gambar besar boneka yang uniseks dan multietnik, buku kecil untuk tester, serta pedoman penyelenggaraan dan pen-skoran skala.
Dalam penyelenggaraan tes Stanford-Binet, kita membutuhkan penguji yang amat terlatih. Ragu-ragu dan gugup bisa menghancurkan rapport, apalagi jika peserta tes masih muda.

sumber:
tengakarta.files.wordpress.com

Refleksi Hasil Bentukan Belajar. Contoh Kasus Classical dan Operant Conditioning


Ini merupakan tugas PUM 2 sebenarnya, tapi untuk berbagi, boleh di post disini :)






Classical Conditioning

   Contoh kasus classical conditioning saya berkaitan dengan masalah remaja.
   Sebenarnya saya agak malu untuk menjadikan ini sebagai tugas untuk contoh kasus, karena ini kisah nyata. Tapi ya sudah, tidak apa-apa.

Unconditioning Stimulus        :  Melihat Orang yang disuka
Unconditioning Respons        :  Rasa Malu
Conditioning Stimulus            :  Bel Istirahat
Conditioning Respons            :  Rasa Malu

   Dulu, saya menyukai salah seorang teman di sekolah yang berbeda kelas. Setiap melihatnya, saya merasa malu. Walau sebenarnya senang juga.
   Awalnya, saya selalu melihatnya hanya ketika berada di ekskul yang sama. Namun, kemudian setelah saya sadar ‘keberadaan’nya, tiap istirahat sekolah saya melihatnya. Dan bel istirahat adalah sebagai penanda bahwa saya akan segera melihatnya. Oleh karena itu, setiap bel istirahat berbunyi, saya jadi malu. Padahal biasanya saya merasa biasa saja kalau mendengar bel istirahat.

UCS (Melihat Orang yang disuka)   menghasilkan   UCR (Rasa Malu)

UCS (Melihat Orang yang disuka) + CS (Bel Istirahat)   menghasilkan   UCR (Rasa Malu)

CS (Bel Istirahat)   menghasilkan   CR (Rasa Malu)

   Namun sekarang kami sudah tidak berada di sekolah yang sama lagi, sehingga stimulus menghilang mempengaruhi respon yang menjadi memudar.


Operant Conditioning

   Kalau contoh kasus operant conditioning saya, kaitannya dengan kehidupan sehari-hari yang sampai sekarang juga masih terus dijalani.
   Saya mengambil contoh untuk positive reinforcement. Yaitu mengenai tersenyum.
   Ketika saya tersenyum pada seseorang, biasanya seseorang tersebut akan membalas tersenyum juga. Dan energi positif dari orang tersebut masuk ke saya, sehingga saya merasakan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya.
   Oleh karena itu, operant conditioning yang merupakan belajar penguatan ataupun belajar dari konsekuensi dalam contoh proses positive reinforcement yang telah disebutkan, memberi pengaruh untuk terus mengulang kegiatan yang  memberi positive reinforcement yang memang bertujuan untuk mendapat pengulangan perilaku yang menyenangkan.
   Dalam kasus saya adalah perilaku mendapat balasan senyuman yang membuat perasaan jadi lebih baik tersebut.


teman-teman.... agak panik waktu ngerjainnya, mendadak ngerjain dan lupa deadline itu jam 12 malam atau sampai jam masuk kuliah... jadi ya, bismillah, moga-moga diterima...

sedikit curhat boleh ya >_<
lagi masa lelah sekarang dengan begitu banyaknya tugas, aktivitas
senang sih, tapi capek juga..... :")

dan.....
allahu akbar! allah pasti memberi yang terbaik dengan semua ini
keep fire!!!! ;D



Sunday, March 11, 2012

Hasil Diskusi Mengenai Kewajiban Pembuatan Blog dan E-mail Dalam Mata Kuliah Psikologi Pendidikan


Siti Habibah Rhadiatullah (11-027)

Yang Menjadi Persoalan :
   Bagaimana pandangan dan penilaian kelompok anda sehubungan dengan kewajiban setiap mahasiswa yang mengikuti mata kuliah psikologi pendidikan 3 sks ta 2011/2012 harus memiliki email dan blog ditinjau dari uraian psikologi pendidikan dan fenomena pendidikan di Indonesia,medan khususnya?

Aspirasi Bersatu Melalui Diskusi :
   Di kota medan kita yang tercinta ini, teknologi sudah semakin lumayan berkembang, terutama pengaplikasiannya dalam bidang pendidikan. Contohnya , sudah ada beberapa sekolah yang menerapkan pendidikan berbasis e-learning.

   Hal ini sesuai dengan teori William James yang merekomendasikan mengajar pada titik sedikit lebih tinggi diatas tingkat pengetahuan dan pemahaman anak dengan tujuan memperluas cakrawala pemikiran anak. Begitu pula dengan Dewey dan Thorndike yang mengemukakan pandangan mengenai belajar  aktif dan berbasis  ilmiah.

   Dengan adanya kewajiban mahasiswa yang mengikuti mata kuliah psikologi pendidikan 3 sks ta 2011/2012 dalam memiliki email dan blog memiliki kaitan yang sangat erat dengan uraian teori-teori dalam psikologi pendidikan. Memiliki email dan blog dalam proses peningkatan kualitas belajar adalah langkah yang tepat dalam penyesuaian informasi agar tetap tidak ketinggalan.

   Sepanjang peninjauan kami, ada sangat banyak hal positif yang bisa didapatkan, diantara adalah paperless (penghematan kertas karena tugas dikumpul dalam bentuk softcopy/ postingan di blog), keefisienan waktu (tugas dapat dikerjakan dimana dan kapan saja, tidah hanya didalam kelas), menambah kreativitas (dituntutnya ide-ide baru dan unik dalam mendesain postingan), media mengekspresikan diri (adanya kolom widget yang mencerminkan diri), membawa semangat menghadapi tantangan (mencoba hal baru), dan sebagainya.

   Namun, disisi lain, ada juga kesulitan-kesulitan yang hadir dalam proses memenuhi tuntutan ini. Khususnya untuk mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki personal computer dan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari daerah yang sulit memperoleh informasi terutama cakupan teknologi sehingga agak tertatih dalam memenuhi kewajiban tersebut.

   Walaupun begitu, kesulitan-kesulitan tersebut akan membawa pada usaha yang lebih keras dan tantangan yang semakin seru pada perjuangan dalam proses menuju pencapaian cita.

   Secara keseluruhan, kami setuju dan mendukung program ini. Semoga mata kuliah psikologi pendidikan beserta tugas-tugasnya dapat berjalan dengan lancar hingga akhir semester nanti. ;-)

Saturday, March 10, 2012

Psikologi Pendidikan dan Fenomena Pendidikan

waaaaaw sungguh serius judul diatas, benar-benar penting!
inilah topik pertama dalam kontrak kuliah yang akan dipelajari oleh kami anak-anak psi usu '11
~setelah topik pembacaan kontrak terlebih dahulu tentunya

oke, pelan-pelan ya kita bahas...


*sebelum buka buku*

yang terlintas di benak saya, adalah hal-hal yang berkaitan dengan....
belajar, pembelajaran, kejadian-kejadian yang tampak dari proses belajar terkini, step by step pendidikan dalam kancah psikologi, tokoh-tokoh yang berwarna hitam putih di buku, berhubungan dengan sekolah juga iya ni kayaknyaa~

*mulai buka buku*
cover bab ini berwarna maroon, dengan angka 1 berwarna hitam dan tulisan judul bab berwarna putih
ada gambar 2 orang anak perempuan sedang menunjuk suatu daerah pada globe
ada gambar 2 orang anak laki-laki dengan keadaan blur, mungkin sedang melakukan hal yang sama, tapi mungkin juga tidak
lalu dibagian paling bawah.....


Kusentuh masa depan. Aku mengajar
-Christa McAuliffe, pendidik dan astronot Amerika abad ke-20

dapatkah teman-teman rasakan? begitu sarat makna yang beliau katakan
dan........
beliau adalah seorang astronoooot!!!!! *heboh*
boleh jujur ya.... iri ni, kembali teringat cita lama..
jadi astronot itu salah satu keinginan yang dulu begituu kuat, tapi....


haha balik lagi yuk ke pembicaraan seharusnya XD


*membalik lembaran ke halaman selanjutnya*


ada garis besar dan tujuan bab, disebelahnya ada Teaching Stories


balik lagi, balik terus, dibalik, balik, balik, balik, sampe 36 halaman............




dannnnn jreeen jreeeng jreeenggg,
here you are ;) 

Psikologi adalah studi ilmiah tentang perilaku dan proses mental.
Psikologi pendidikan adalah cabang ilmu psikologi yang mengkhususkan diri pada cara memahami pengajaran dan pembelajaran dalam lingkungan pendidikan.

Secara latar belakang historis, terdapat 3 orang perintis terkemukanya :
1. William James (1842-1910)
Beliau sepertinya adalah seorang dengan tipe kebapakan yang kental. Mister James ini sangat peduli dengan anak, terutama mengenai bagaimana cara bermutu tinggi dalam mengajar anak.Salah satu pendapatnya ialah mulai mengajar pada titik yang sedikit lebih tinggi diatas tingkat pengetahuan dan pemahaman anak dengan tujuan memperluas cakrawala pemikiran anak.
2. John Dewey (1859-1952)
Ternyata tipe kebapakan juga plus berhati mulia ni. Ada 3 pemikiran luar biasa beliau :
>Anak-anak akan belajar dengan lebih baik apabila mereka aktif
>Bukan hanya akademik yang dibutuhkan anak, namun juga harus diajari cara untuk berpikir dan beradaptasi degan dunia diluar sekolah
>Semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang selayaknya
3. E.L.Thorndike
Beliau sangat perhatian terhadap penilaian, pengukuran, dan perbaikan dasar-dasar belajar secara ilmiah. Gagasan mengenai psikologi pendidikan harus berbasis ilmiah dan berfokus pada pengukuran  merupakan salah satu kata hatinya.

Eiiitttt. Dapat quote lagi nih dihalaman 6 -> Mengajar : Antara Seni dan Ilmu Pengetahuan ^-^

Terus ada dihalaman sebelahnya, Cara Mengajar yang Efektif.
Dibutuhkan dua hal utama :
1. Pengetahuan dan keahlian profesional
2. Komitmen dan motivasi

Meliputi hal-hal ini juga :
1. Penguasaan materi pelajaran
2. Strategi pengajaran
    -> Konstruktivisme (individu secara aktif menyusun dan membangun pengetahuan dan pemahaman)
3. Penetapan tujuan dan perencanaan instruksional
4. Keahlian manajemen kelas
5. Keahlian motivasional
6. Keahlian komunikasi
7. Bekerja secara efektif dengan berbagai latar belakang kultural murid
8. Keahlian teknologi

ahya, Komitmen dan Motivasi juga sangat penting!


sekarang kita terbang ke.......
Riset dalam Psikologi Pendidikan ^-^

Riset ilmiah adalah riset objektif, sistematis, dan dapat diuji. Berlandaskan metode ilmiah yang terdiri dari beberapa langkah :
1. Merumuskan masalah
2. Mengumpulkan data
3. Menarik kesimpulan
4. Merevisi kesimpulan dan teori riset

Metode dalam riset ada 3, yaitu deskriptif, korelasional, dan eksperimental.

agak loncat gapapa ya... dah tengah malam... >_<
jadi... riset selain menyenangkan, juga membuahkan tantangan.
yaitu : etika, gender, etnis dan kultur.

Etika mengutamakan keamanan.
Gender..... memang sudah sering ya. Selain itu sering juga kesimpulan tentang perempuan diambil berdasarkan riset yang dilakukan pada pria. Nahlo...
Etnis dan Kultur, sering sensitif~

*mulai nguap dan super ngantuk*
oke, ini bagian terakhir ;)

Menjadi konsumen yang bijak dari psikologi pendidikan ada juga cara-caranya :
1. Berhati-hati dengan media populer
2. Tahu cara menghindar dari kesalahan membuat kesimpulan
3. Mengenali generalisasi sampel berlebihan pada samel kecil/klinis
4. Berhati-hati, sudi tunggal tidak memberi keputusan final
5. Ingat bahwa studi korelasional tidak bisa membawa kesimpulan sebab akibat
6. Teliti dengan sumber informasi dan evaluasi kredibilitasnya

Alhamdulillah.........
Akhirnyaaaaa \(^v^)/

kalo halaman 33-36 itu contoh kasus aja~

gimana temen-temen? ga jauh beda kan sama tebakan sebelum buka buku tadi? :3

okeeee moga bermanfaat ya ulasan seadanya ini. kalo mau versi lengkapnya, bisa dibaca di buku Psikologi Pendidikan-nya John W. Santrock yang edisi kedua terbitan Kencana Prenada Media Group. kalo versi aslinya yang belum diterjemahin ke bahasa indonesia, itu terbitan McGraw-Hill, sipp

terimakasiiiiiiihhhhh :D selamat merajut imaji ;)